25 August 2023 - Oleh Kantor Kerjasama
Kategori : Kegiatan Khusus Kampus
Prof. Denise Spitzer Gandeng KABAR BUMI Adakan Diskusi Publik dan Diseminasi Hasil Riset Remitansi di UNWIRA
UNWIRA – Prof. Denise Spitzer bersama KABAR BUMI selenggarakan diskusi publik dan diseminasi hasil riset remitansi dengan tema, “Lives of Migrant Remittances” pada Jumat, (25/08/2023). Bahwasanya, salah satu alasan diskusi ini dibuat yakni untuk memaparkan hasil penelitian dari Prof. Denise Spitzer tentang migran yang ditelitinya pada beberapa wilayah di Asia, termasuk di Indonesia. Kegiatan yang dilangsungkan pada Ballroom St. Paulus Lt. 4 Kampus Penfui tersebut dihadiri oleh para mahasiswa/i UNWIRA dan beberapa kampus lainnya di Kota Kupang, para akademisi, para penyintas dan anggota komunitas.
Wakil Rektor III, Drs. Serfatius Rodriques, M.Si., ketika hendak membuka kegiatan diskusi publik dan diseminasi hasil riset remitansi, mengatakan bahwa banyak kejadian miris, opini dan penelitian yang berkaitan dengan migrasi. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi cara pandang baru dalam membingkai dan membedah masalah Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Baca Juga: Fakultas Teknik UNWIRA Tutup KKNT 2022/2023
“Peserta seminar ini dalam undangannya melibatkan berbagai stakeholders yang peduli dengan PMI sehingga bisa menjadi FGD yang bernas serta mampu menemukan resep mujarab dalam mengatur tata kelola PMI”, pungkas Alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.
Prof. Denise Spitzer, dalam materinya, mengatakan bahwa apa yang dipersentasekannya merupakan penelitian kolaboratif dan sebuah penelitian naratif karena disertai denan fakta-fakta. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Denise Spitzer ini melibatkan 1020 partisipan yang terdiri dari 96,4% perempuan dan 3,2% laki yang berasal dari Indonesia dan Filipina. Lebih lanjut, sebanyak 66% dari partisipan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka mempunyai keluarga yang pernah bersentuhan langsung dengan kasus migrasi.
“Para migran merupakan korban dari masalah struktural. Menyitir salah satu partisipan yang saya temui, saya ingin menegaskan kembali bahwa migrasi bukanlah salah satu hal yang dapat menjamin kesuksesan,” tutur dosen pada Universitas Alberta Canada tersebut.
Baca Juga: Peringati HUT ke-78 Republik Indonesia, UNWIRA Gelar Upacara Bendera
Karsiwen, selaku Ketua Pimpinan Pusat KABAR BUMI, pada kesempatan yang sama, menegaskan bahwa penelitian tersebut sesungguhnya berbeda dengan penelitian migran yang lain. Sebab, dalam penelitiannya, mereka selalu menekankan kerja kolaboratif, di mana mereka melibatkan komunitas, NGO, dan peneliti dari kampus luar negeri. Dalam berproses, Karsiwen dan rekan-rekannya selalu membuat proposal secara bersama, merumuskan pertanyaan secara bersama pun membuat konsep perhitungan secara bersama.
“Setelah puluhan tahun mendampingi kasus, saya menemukan bahwa ternyata masalah struktural merupakan hal yang melatarbelakangi kasus migran. Hal itu dapat terlihat jelas melalui kebijakan-kebijakan yang tidak begitu signifikan”, pungkasnya.
Baca Juga: UNWIRA Sambut Mahasiswa Baru dengan Semangat Menuju Kampus Sehat dan Bermartabat
Didimus Dedi Dhosa, dosen FISIP UNWIRA sekaligus penanggap pada diskusi publik dan diseminasi hasil riset remitansi tersebut menyampaikan migrasi bukanlah suatu fakta sosial yang berdiri sendiri. Migrasi secara utuh disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Pada faktor internal misalnya, ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Alumnus STFK Ledalero (sekarang IFTK Ledalero) ini. Pertama, Tenaga kerja di NTT tidak sama dengan tenaga kerja asal Jawa. Kalau di Jawa, buruh tidak memiliki tanah, dan atau tanah dengan ukuran kecil karena proses gentrifikasi yang masif di kota-kota besar. Buruh dalam pengertian yang tegas adalah mereka yang tidak memiliki basis produksi (tanah). Di Jawa, buruh dihubungkan dengan buruh pabrik atau perusahaan yang mendapat upah dari perusahaan. Selain itu, terdapat istilah buruh tani yakni mereka yang mendapatkan upah sebagai hasil dari keterlibatan mereka dalam mengolah tanah.
Sementara itu di NTT, Malaka khususnya, pekerjaan utama masyarakat adalah petani. Petani di sini adalah petani yang memiliki tanah, tuan tanah sendiri, dan tanah yang subur. Karena itu, ketika mereka menjadi buruh migran di Malaysia, mereka adalah petani bertanah yang luas, dan bukan buruh tanpa tanah dalam arti tegas. Tesis ini sebetulnya ingin membantah sejumlah perspektif yang beranggapan bahwa menjadi buruh migran atau PMI adalah orang yang tidak memiliki tanah sebagai akibat dari akumulasi kapital oleh elit ekonomi sebagaimana ditegaskan sejumlah peneliti.
Kedua, Sekolah Tembus Malaysia. Ada semacam imajinasi yang melekat pada anak-anak di wilayah yang menjadi basis migran (Malaka) untuk mengalami sesuatu yang berbeda dari kampung halaman sendiri, dengan konsekuensi lanjut adalah mereka tidak mengenyam sekolah formal.
Ketiga, Aspek budaya. Mereka tidak memiliki harta warisan tanah. Tanah dimiliki dan dikuasai oleh perempuan. Perempuan tinggal di rumah dan mendapatkan tanah, sementara laki-laki harus keluar dari rumah dan menikah dengan perempuan di luar sukunya.
Bagi mereka, bekerja sebagai buruh migran di Malaysia adalah strategi untuk mendapatkan uang yang kemudian mereka pakai untuk membeli tanah baru di Malaka dan di tempat lain.
“Saya berargumen bahwa negara alpa dan abai terhadap hak-hak buruh migran yang telah memberikan sumbangan sangat besar terhadap devisa negara. Bahkan, dalam kadar tertentu, negara melalui state apparatus terlibat dalam memfasilitasi dan ‘mengamankan’ bisnis pengiriman PMI,” pungkasnya.
(Penulis: Rio Ambasan)