03 May 2025 - Oleh Kantor Kerjasama

Kategori : Kegiatan Khusus Kampus

UNWIRA Gelar Focus Group Discussion Bahas Fenomena Bunuh Diri Remaja di NTT


UNWIRA— Universitas Katolik Widya Mandira menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Fakta Deteksi dan Pencegahan Bunuh Diri Remaja” yang berlangsung di Auditorium St. Paulus, Gedung Rektorat, Lt. 4, Kampus UNWIRA Penfui. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara UNWIRA dan Yayasan Koker Niko Beeker, yang digelar sebagai bentuk respons atas meningkatnya angka bunuh diri terutama di kalangan remaja dan dewasa muda di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).

FGD ini dihadiri oleh pimpinan universitas, dosen, mahasiswa, serta berbagai elemen organisasi kemahasiswaan seperti BEM Universitas, BEM Fakultas, dan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS).

Baca Juga: Peringati HARDIKNAS, Rektor UNWIRA Tekankan Ini

Narasumber utama dalam diskusi ini adalah Robert Bala, Ketua Yayasan Koker Niko Beeker, yang juga dikenal sebagai penulis buku Sebelum Bunuh Diri.

Dalam sambutannya, Rektor UNWIRA, P. Dr. Philipus Tule, SVD., menegaskan pentingnya keterlibatan aktif perguruan tinggi dalam menghadapi persoalan nyata di tengah masyarakat.

“Kegiatan ini tidak hanya dilihat sebagai bagian dari agenda Hardiknas, tetapi juga berada dalam kerangka program transformasi pendidikan tinggi secara menyeluruh, seperti yang disampaikan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi pada 29 April lalu, saat ini telah diperkenalkan sebuah program nasional bernama Kampus Berdampak,” ungkap Pater Philipus.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa fenomena bunuh diri yang marak di kalangan remaja dan generasi muda merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian bersama bukan hanya oleh pemerintah atau lembaga sosial, tetapi juga oleh dunia pendidikan tinggi.

“Sebagai institusi pendidikan tinggi, kita tidak bisa tinggal diam,” ujarnya.

Baca Juga: Prodi Ilmu Pemerintahan UNWIRA Gelar Kuliah Umum Bersama Gubernur NTT

Menurutnya, mahasiswa, dosen, dan para peneliti harus ambil bagian dalam menghadapi persoalan ini melalui tindakan nyata. Tidak cukup hanya dengan diskusi akademik di ruang kelas, tetapi melalui pengabdian kepada masyarakat, program kuliah kerja nyata, dan bentuk keterlibatan sosial lainnya yang berdampak langsung.

Sementara itu, Robert Bala, Ketua Yayasan Koker Niko Beeker sekaligus penulis buku Sebelum Bunuh Diri, memaparkan realitas kasus bunuh diri yang terjadi di NTT.

Ia menjelaskan bahwa ide bunuh diri bisa muncul sejak usia 9 hingga 10 tahun. Pada usia ini, anak-anak sudah bisa menyampaikan keinginan untuk mengakhiri hidup, sering kali dalam bentuk kata-kata atau perilaku yang diabaikan oleh orang dewasa.

“Anak-anak sering mengungkapkan secara verbal keinginannya untuk mati. Sayangnya, orang dewasa menganggapnya sekadar emosi sesaat atau bentuk manja,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa remaja usia 16–20 tahun berada dalam fase paling rentan terhadap gangguan mental. Tindakan self-harm atau melukai diri, menurutnya, adalah gejala serius yang tidak boleh diabaikan.

“Self-harm bukan selalu berarti ingin mati, tapi itu bisa menjadi jalan menuju tindakan fatal. Mereka mencari momen untuk menyakiti diri sebagai pelampiasan emosi yang tidak tertangani,” jelasnya.

Robert Bala mengajak peserta, khususnya mahasiswa sebagai calon guru dan tenaga pendidik untuk jeli dalam mengenali tanda-tanda awal tekanan psikologis pada remaja. Ia menyebut perubahan perilaku, seperti menjadi diam, menjauh dari pergaulan, atau kehilangan minat adalah indikator penting. Sebagai solusi, ia mendorong penguatan program peer-counseling di sekolah dan perguruan tinggi.

“Remaja lebih mudah membuka diri kepada teman sebaya. Maka peer-counseling adalah mekanisme yang efektif untuk menciptakan sistem saling jaga dan peduli di lingkungan pendidikan,” tekannya.

Salny, salah satu mahasiswi semester empat dari Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) UNWIRA turut berbagi pandangan mengenai FGD. Ia mengaku kegiatan ini sangat penting, terutama untuk mahasiswa BK.

“Selama ini isu bunuh diri sering dibicarakan dalam teori, tapi jarang ada forum seperti ini yang membahasnya dari sudut pandang nyata di lapangan,” katanya.

Salny berharap FGD seperti ini tidak berhenti di sini saja, tetapi harus ada tindak lanjut, misalnya pelatihan konselor sebaya, forum diskusi rutin, dan keterlibatan kampus dalam menyediakan layanan konseling  yang mudah diakses.

Diskusi ini menghasilkan beberapa masukan strategis, seperti pentingnya pelatihan bagi guru Bimbingan Konseling dalam mendeteksi dini gejala depresi, penguatan sistem peer-counseling di kampus, serta perlunya kampanye berkelanjutan untuk menghapus stigma terhadap isu bunuh diri.

(Penulis: Sonya Berek; Editor: Yosefa Saru)