18 May 2024 - Oleh
Kategori :
Fakultas Filsafat UNWIRA Gelar Seminar Nasional

UNWIRA - Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira mengadakan seminar nasional bertajuk “Artifical Intellegence dan Masa Depan Filsafat” pada Sabtu (18/05/2024), di aula St. Hendrikus, Lt.4 Gedung Rektorat UNWIRA. Kegiatan ini dihadiri oleh akademisi dan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari UNWIRA maupun perguruan tinggi lainnya secara daring dan luring.
Baca Juga: Tim Debat UNWIRA Lolos NUDC 2024 ke Tingkat Nasional
Seminar ini menghadirkan tiga narasumber terkemuka, yakni Prof. Dr. F. Budi Hardiman (Universitas Pelita Harapan - Jakarta), Dr. Frederikus Fios, S.Fil., M.Th. (Universitas Bina Nusantara - Jakarta) dan RD. Leonardus Mali, L.Ph. (Universitas Katolik Widya Mandira).
Rektor UNWIRA, P. Dr. Philipus Tule, SVD., dalam sambutanya menyoroti pentingnya kegiatan ini untuk mengeksplorasi peran AI dalam perkembangan filsafat kontemporer.
"Salah satu aspek penting dari filsafat kontemporer tentang AI ini ialah ketergantungan pada filsafat ilmu," ujarnya.

Ia juga memandang seminar ini sebagai arena perjumpaan dan sharing akademik antara para narasumber dari tiga perguruan tinggi yang berbeda dan semua peserta yang hadir. Menurutnya, seminar ini dapat digunakan sebagai kesempatan untuk merenungkan berbagai pertanyaan, seperti apakah inteligensi manusia dan mesin itu sama, apakah otak manusia secara esensial sama dengan otak komputer, dan bisakah sebuah mesin memiliki pikiran, entitas, serta kesadaran yang sama dengan manusia.
"Berbagai pertanyaan seperti itulah yang harus menantang kita. Jawaban dari pertanyaan itu tergantung dari bagaimana kita mendefinisikan tentang kesadaran dan mesin," terangnya.
Baca Juga: Peringati Hari Buku Nasional, UNWIRA Gelar Lomba Resensi Buku
Oleh karena itu, ia menyebut hasil diskusi dalam seminar nasional tersebut akan memiliki dampak yang besar.

Sementara itu, salah satu narasumber, Prof. Dr. F. Budi Hardiman, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa tugas utama dari filsafat ialah mencari kebijaksanaan. Ia mengatakan bahwasanya kebijaksanaan terbentuk dari makhluk moral yang berkembang lewat proses kompleks, sedangkan AI hanya berproses dari bit informasi.

“Memang ada mesin cerdas, tetapi tidak ada mesin bijaksana karena kebijaksanaan memang direservasi hanya untuk suatu makhluk yang punya kesadaran, suara hati, dan dapat mengasihi sekaligus juga dapat terluka," jelasnya.
Ia mengakhiri pemaparannya dengan mengemukakakan konsep prudent pragmatism (Pragmatizen Bijaksana) yang menekankan bahwa tidak semua yang bisa dibuat harus dibuat, melainkan hanya yang berguna dan tidak menghancurkan kemanusiaan kita sendiri.
(Penulis: Amandha Tukan; Editor: Yosefa Saru)