26 September 2025 - Oleh
Kategori :
Prodi Ilmu Pemerintahan UNWIRA Gelar Diskusi Publik Bahas Efisiensi Anggaran dan Implikasinya bagi Pembangunan NTT

UNWIRA – Program Studi Ilmu Pemerintahan (IPM) Universitas Katolik Widya Mandira bekerja sama dengan Center for East Indonesian Studies (CEIS) menggelar diskusi publik bertajuk “Paradoks Efisiensi Anggaran Era Prabowo dan Implikasi bagi Pembangunan NTT”, Jumat (25/9/2025) bertempat di pelataran Gedung FISIP UNWIRA.
Kegiatan ini menghadirkan Emanuel Kosat, S.IP., M.KP., Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan UNWIRA, sebagai narasumber, dengan Veronika Ruba Pena, S.I.P., M.Sos., sebagai moderator. Diskusi berlangsung hangat dan kritis, diikuti oleh puluhan mahasiswa lintas program studi, para dosen, aktivis muda, serta pengamat kebijakan lokal.
Baca Juga: Sambut Hari Sumpah Pemuda 2025, BEM FKIP Gelar Lomba Band dan Menulis Artikel
Dalam sambutannya, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan, Eusabius Separera Niron, S.IP., M.IP., menekankan pentingnya kampus menjadi ruang refleksi kritis terhadap dinamika pembangunan daerah. Ia menyoroti adanya ketimpangan antara wacana efisiensi anggaran pemerintah pusat dan realitas belanja publik di daerah, khususnya NTT.
“NTT sangat bergantung pada dana transfer pusat. Ketika efisiensi dilakukan tanpa sensitivitas daerah, maka pembangunan prioritas ikut terganggu. Di sisi lain, kita melihat kebijakan lokal seperti Tour de eNTeTe, kenaikan tunjangan DPRD, dan ret-ret pejabat yang justru mengesankan pemborosan," tekannya.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Emanuel Kosat mengkritisi arah efisiensi anggaran yang cenderung digunakan sebagai justifikasi politik. Ia menyebut, dalam konteks ekonomi politik, efisiensi saat ini telah berubah menjadi alat reproduksi kekuasaan elit.
“Efisiensi telah menjadi eksperimen birokrasi yang tidak menyentuh akar persoalan. Yang muncul justru personalisasi jabatan dan kebijakan yang lebih pragmatis daripada solutif,” paparnya.
Ia juga menyinggung program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan investasi di Danantara yang dianggap lebih bersifat simbolik, sementara masyarakat dibebani pajak yang semakin tinggi.
Diskusi menjadi semakin hidup dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari mahasiswa mengenai arah pembangunan daerah jika anggaran lebih banyak terserap pada belanja simbolik dan politik elitis. Menanggapi hal ini, Emanuel mengajak mahasiswa untuk menjadikan kampus sebagai ruang pengabdian kritis yang mampu mentransformasikan pengetahuan menjadi kekuatan sosial demi kemajuan NTT. (JB)